Radiasi ultraviolet (UV) merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan kerusakan pada DNA manusia. Dalam respons terhadap kerusakan DNA ini (DDR), salah satu yang penting adalah yang dipicu oleh paparan sinar UV. Dari tiga kategori radiasi UV matahari, hanya UV-A dan UV-B yang mampu menembus atmosfer Bumi. Oleh karena itu, dua jenis radiasi UV ini merupakan perhatian utama bagi manusia, terutama dengan terus berkurangnya lapisan ozon yang menyebabkan tingkat radiasi ini mencapai permukaan planet kita.
Radiasi UV menyebabkan dua jenis lesi DNA: cyclobutane pyrimidine dimers (CPDs) and 6-4 photoproducts (PP). Kedua jenis lesi ini merusak struktur DNA, memperkenalkan lengkungan atau tekukan sehingga menghambat transkripsi dan replikasi. Area-area yang relatif fleksibel dari heliks ganda DNA paling rentan terhadap kerusakan. Bahkan, satu “titik panas” untuk kerusakan yang disebabkan oleh sinar UV ditemukan dalam sebuah onkogen yang sering bermutasi, yaitu gen p53.
Dalam konteks kesehatan manusia, pemahaman tentang kerusakan DNA akibat paparan UV ini sangat penting. Kerusakan pada gen p53, sebagai contoh, dapat berkontribusi pada risiko kanker. Oleh karena itu, perlindungan terhadap sinar UV, baik melalui penggunaan tabir surya maupun pengurangan paparan langsung terhadap sinar UV, menjadi kunci dalam menjaga kesehatan kulit dan mengurangi risiko terjadinya penyakit kanker kulit.
Dengan memahami bagaimana radiasi UV berinteraksi dengan DNA dan menyebabkan kerusakan, diharapkan upaya pencegahan dan perlindungan dapat ditingkatkan. Selain itu, penelitian lebih lanjut terkait respons kerusakan DNA ini diharapkan dapat membuka jalan bagi pengembangan terapi yang lebih efektif dalam mengatasi dampak kesehatan yang disebabkan oleh paparan radiasi UV.
Dalam dunia biologi, penting untuk memahami bagaimana tubuh makhluk hidup memperbaiki kerusakan pada DNA. Salah satu proses yang bertanggung jawab dalam memperbaiki kerusakan ini disebut sebagai Nucleotide Excision Repair (NER). NER terlibat dalam memperbaiki dua jenis kerusakan yang umum, yaitu CPDs (Cyclobutane Pyrimidine Dimers) dan 6-4 PPs (6-4 photoproducts).
Pada organisme eukariotik, proses perbaikan NER ini melibatkan sekitar 30 gen yang berbeda. Ketika terdapat cacat pada beberapa dari gen-gen ini, dapat menyebabkan penyakit manusia yang dikenal sebagai XP (Xeroderma Pigmentosum). Selain itu, kondisi lain juga dapat muncul yang meningkatkan risiko kanker kulit sekitar seribu kali lipat dari normal.
Secara khusus, NER pada organisme eukariotik melibatkan minimal 18 kompleks protein yang bekerja dalam empat langkah berbeda. Langkah-langkah ini meliputi: 1) mendeteksi kerusakan pada DNA, 2) memotong bagian DNA yang mengandung kesalahan, 3) mengisi celah yang dihasilkan oleh DNA polymerase, dan 4) menutup sambungan antara DNA baru yang disintesis dengan DNA yang sudah ada sebelumnya.
Berbeda dengan organisme eukariotik, pada bakteri yang merupakan organisme prokariotik, proses NER diselesaikan hanya oleh tiga protein, yaitu UvrA, UvrB, dan UvrC. Mereka bertanggung jawab dalam mendeteksi, memotong, dan memperbaiki kerusakan pada DNA dalam bakteri.
Dengan pemahaman lebih lanjut mengenai proses ini, kita dapat melihat perbedaan dalam mekanisme perbaikan DNA antara organisme eukariotik dan prokariotik. Meskipun sama-sama bertujuan memperbaiki kerusakan, namun metode dan jumlah protein yang terlibat dalam proses NER berbeda antara kedua jenis organisme ini.
Kerusakan akibat sinar UV bukan hanya mengancam manusia, tetapi juga organisme lain seperti bakteri. Namun, ada mekanisme lain yang dimiliki bakteri dan beberapa organisme lainnya untuk memperbaiki kerusakan akibat sinar UV yang disebut fotoreaktivasi. Metode ini sering disebut sebagai “perbaikan cahaya,” karena bergantung pada adanya energi cahaya. Perbaikan ini berbeda dengan NER (perbaikan oleh excision nuclease) dan sebagian besar mekanisme perbaikan lain yang sering disebut sebagai “perbaikan gelap,” karena tidak memerlukan cahaya sebagai sumber energi.
Selama fotoreaktivasi, enzim yang disebut fotoliasa berikatan dengan lesi dimer pirimidin; juga, molekul kedua yang dikenal sebagai kromofor mengubah energi cahaya menjadi energi kimia yang diperlukan untuk langsung mengembalikan area DNA yang terkena ke bentuknya yang tidak rusak. Fotoliasa ditemukan pada banyak organisme, termasuk fungi, tanaman, invertebrata seperti lalat buah, dan vertebrata termasuk katak. Namun, tampaknya fotoliasa tidak ada pada manusia (Sinha & Hader, 2002).
Penelitian menunjukkan bahwa fotoreaktivasi menjadi cara penting bagi banyak organisme untuk melawan kerusakan DNA akibat sinar UV. Meskipun tidak ada fotoliasa pada manusia, pemahaman akan mekanisme ini dapat memberikan wawasan yang berharga dalam mengembangkan cara-cara baru untuk melindungi DNA dari kerusakan yang diakibatkan oleh paparan sinar UV.
Terlepas dari keberadaan fotoliasa, upaya perlindungan terhadap kerusakan UV tetaplah penting. Penerapan langkah-langkah pencegahan seperti penggunaan tabir surya, pakaian pelindung, dan menghindari paparan berlebihan terhadap sinar UV tetap dianjurkan untuk menjaga kesehatan kulit dan mencegah kerusakan DNA yang berpotensi membahayakan.