OKSIDASI ASAM LEMAK Mempengaruhi Keberhasilan Program Weight Loss

Ditulis oleh : Harry Freitag Luglio Muhamma, PhD, RD (Peneliti, Dietisien, Enterpreneur)

Rogge dan rekan (2009) menyoroti sebuah teori mengenai interaksi kompleks antara obesitas, aktivitas fisik, dan status oksidasi asam lemak yang rendah. Penelitian mereka mengungkapkan bahwa individu dengan kelebihan berat badan cenderung memiliki tingkat aktivitas fisik yang kurang optimal untuk mencapai keseimbangan energi yang ideal bagi tubuh mereka. Ini terjadi karena orang-orang dengan obesitas memiliki kecenderungan untuk memiliki kapasitas rendah dalam mengonversi energi dari asam lemak serta menghasilkan lebih banyak asam laktat dalam prosesnya. Gabungan dari kedua faktor ini membuat individu yang mengalami obesitas menjadi lebih rentan terhadap kelelahan yang berkelanjutan saat melakukan aktivitas fisik.

Meskipun demikian, terdapat sebuah paradoks yang menarik.

Tingginya rasio AMP:ATP yang terjadi di otak dan disebabkan oleh kemampuan oksidatif yang rendah dapat memengaruhi sinyal neuroendokrin. 

Akibatnya, individu dengan obesitas cenderung terus-menerus mencari makanan yang padat akan energi. Ini memberikan pandangan yang lebih dalam tentang kompleksitas interaksi antara metabolisme, aktivitas fisik, dan perilaku makan.

Pentingnya Mitokondria dalam Proses Oksidasi Asam Lemak

Mitokondria adalah pusat penting di mana oksidasi asam lemak terjadi, karena tempat tersebut mengandung beragam enzim yang diperlukan untuk proses FAO (Oksidasi Asam Lemak). 

Proses FAO dimulai dengan transportasi asam lemak ke dalam mitokondria, diikuti oleh translokasi karnitin, dan berakhir dengan tahap β-oksidasi. Asam lemak yang akan dioksidasi ini berasal dari trigliserida dan lipoprotein yang telah mengalami hidrolisis oleh enzim lipoprotein lipase (LPL) di endotelium (dinding dalam) pembuluh darah.

Untuk memulai proses lipolisis, asam lemak perlu diangkut dari sitosol ke dalam mitokondria. Karakteristik dari setiap asam lemak, seperti panjang rantai karbonnya, memengaruhi cara molekul ini diangkut ke dalam mitokondria.

Pengaruh Panjang Rantai Asam Lemak

Di alam, asam lemak ada dalam beragam bentuk. Ukurannya juga berbeda tergantung pada panjang rantai karbon penyusunnya. Perbedaan panjang rantai ini mempengaruhi bagaimana tubuh mengolah asam lemak tersebut sebagai sumber energi. 

Asam lemak rantai panjang (LCFA) dan sangat panjang (VLCFA) perlu molekul pembawa untuk masuk ke dalam mitokondria saat proses oksidasi asam lemak berlangsung. 

Untuk membantu proses tersebut, tubuh memerlukan protein pengangkut.

Ketiga protein utama yang bertanggung jawab dalam sistem transportasi ini adalah fatty acid transport protein (FATP), plasma membrane-bound fatty acid binding protein (FABPpm), dan fatty acid translocase (FAT/CD36). FATP, sebagai protein transmembran, berperan dalam mengangkut asam lemak serta mengonversi LCFA dan VLCFA menjadi Acyl-CoA.

Penelitian menegaskan bahwa ekspresi dan aktivitas enzim transporter asam lemak dapat dapat dimodifikasi oleh faktor-faktor gaya hidup, seperti pola makan, aktivitas fisik, dan kondisi gizi (termasuk obesitas). Artinya, meskipun secara matematis kita bisa memperkirakan bahwa diet rendah kalori bisa menurunkan sekian kilogram lemak tubuh, pada kenyataannya tidak semudah itu lemak digunakan oleh tubuh untuk menghasilkan energi. Salah satu alasannya tergantung pada kualitas dari makanan yang dikonsumsi oleh orang tersebut. 

Diet tinggi lemak, misalnya, secara kronis meningkatkan protein FABPm di jaringan otot, sementara diet tinggi karbohidrat cenderung menguranginya. 

Tidak hanya itu, individu yang mengalami obesitas juga cenderung memiliki FABPm yang lebih tinggi dibandingkan dengan subjek yang memiliki berat badan normal.

Untuk dapat masuk ke dalam mitokondria dari sitosol, asam lemak perlu diangkut dengan penempelan CoA menjadi Acyl-CoA. Acyl-CoA yang dihasilkan oleh FATP harus melalui transformasi lebih lanjut dengan bantuan sistem carnitine shuttle. Sistem ini melibatkan tiga protein kunci: CPT1 (carnitine palmitoyltransferase 1), CACT (carnitine acylcarnitine translocase), dan CPT2 (carnitine palmitoyltransferase 2).

Pada tahap awal, CPT1 bertugas mengonversi acyl-CoA menjadi acylcarnitine di membran luar mitokondria. Kemudian, acylcarnitine diangkut melalui membran dalam mitokondria oleh CACT, di mana kemudian CPT2 melakukan konversi kembali menjadi acyl-CoA.

Karnitin berperan penting dalam proses pemasukan asam lemak rantai panjang ke dalam mitokondria.  

Dengan acyl-CoA yang sudah berada di dalam mitokondria, proses oksidasi selanjutnya diperintahkan oleh acyl-coenzyme A dehydrogenase (ACAD). Ini adalah langkah kunci dalam menghasilkan energi dari asam lemak, yang memberikan kontribusi penting bagi kesehatan dan vitalitas tubuh.

Bagaimana Tubuh Mengatur Beta-oksidasi ?

Penelitian oleh Schreurs et al. pada tahun 2010 telah mengungkapkan tiga metode efektif dalam mengatur proses β-oksidasi, yang merupakan kunci bagi kesehatan tubuh. Melalui perubahan ekspresi enzim ACS dan CPT1, serta kehadiran metabolit seperti malonyl-CoA, FAO (Oksidasi Asam Lemak) dapat dikelola dengan optimal. Pada dasarnya, sistem CPT1 memegang kendali atas sinyal FAO, di mana malonyl-CoA bertindak sebagai inhibitor yang kuat terhadap CPT1. Proses metabolit ini dikatalisis oleh acyl-CoA carboxylase (ACC).

Tidak hanya itu, hormon juga berperan penting sebagai regulator FAO. Studi menunjukkan bahwa insulin dan hormon tiroid dapat mengatur sensitivitas CPT1A, sehingga kedua hormon ini memiliki dampak signifikan pada FAO dalam tubuh seseorang.

ACC sendiri merupakan enzim yang krusial dalam mengatur FAO serta proses pembentukan lipid baru (de novo lipogenesis). Enzim ini memainkan peran penting dalam pembentukan malonyl-CoA, yang merupakan inhibitor potensial dari enzim CPT. 

Dengan demikian, aktivitas ACC memfasilitasi komunikasi penting antara sinyal lipogenik (penyimpanan lemak) dan FAO (penggunaan lemak).

Dari penelitian ini, terbukti bahwa mengoptimalkan FAO dan regulasi lipid dalam tubuh adalah kunci penting dalam program manajemen obesitas. Dengan memahami mekanisme di balik pengaturan ini, kita dapat lebih baik dalam merancang strategi diet dan olahraga yang sesuai untuk meningkatkan kesejahteraan tubuh secara keseluruhan.

Penelitian terkini menyoroti bagaimana FAO dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk lingkungan sekitar dan pola makan kita. Misalnya, Roepstorff et al (2005) menemukan bahwa tingginya simpanan glikogen dalam tubuh dapat menghambat FAO. Namun, Helge dan Kiens (1997) menemukan bahwa diet tinggi lemak justru dapat meningkatkan efisiensi FAO dalam jangka panjang.

Tidak hanya pola makan yang memengaruhi FAO, tetapi juga jenis dan intensitas latihan fisik yang kita lakukan. 

Meskipun latihan intensitas tinggi seringkali dipromosikan, penelitian menunjukkan bahwa FAO mencapai puncaknya pada 65% dari ambilan oksigen maksimal, bukan pada intensitas maksima. Fenomena ini mengindikasikan bahwa latihan fisik yang terencana dengan baik, terutama yang berfokus pada daya tahan (endurance), dapat secara signifikan meningkatkan kemampuan tubuh untuk membakar lemak.

Pengaruh latihan terhadap FAO tidak hanya terlihat pada tingkat seluler, tetapi juga pada tingkat molekuler. Studi menunjukkan bahwa latihan endurance meningkatkan ekspresi enzim dan protein yang terlibat dalam FAO, seperti ATGL dan HSL. Ini menandakan bahwa otot kita menjadi lebih efisien dalam menggunakan lemak sebagai sumber energi.

Bagaimana Latihan Fisik dapat Membantu Meningkatkan Oksidasi Asam Lemak ?

Baik diet maupun latihan memiliki peran penting dalam meningkatkan FAO dan membantu kita mencapai tujuan penurunan berat badan. Dengan memadukan pola makan yang tepat dengan rutinitas latihan yang terencana, kita dapat memaksimalkan potensi tubuh kita untuk membakar lemak secara efektif.

Bukti ilmiah telah mengungkap dampak signifikan dari latihan fisik terhadap oksidasi asam lemak. Penelitian-penelitian sebelumnya, seperti yang dilakukan oleh Holloszy dan Coyle pada tahun 1984, telah mengungkap bahwa latihan ketahanan mampu meningkatkan jumlah mitokondria dalam otot rangka. Ini bukan sekadar peningkatan jumlah, tetapi juga kualitas, yang menjadi kunci utama. Dengan mitokondria yang lebih banyak dan lebih efisien, tubuh menjadi lebih cakap dalam mengoksidasi asam lemak sebagai sumber energi utama.

Kualitas otot rangka itu sendiri juga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan tubuh dalam memanfaatkan asam lemak. Studi in vitro yang dilakukan oleh Sahlin et al. pada tahun 2008 menunjukkan bahwa proporsi serat tipe I dalam otot juga memainkan peran krusial dalam kemampuan tubuh untuk menginduksi oksidasi asam lemak.

Untuk memahami lebih dalam peran kualitas otot dalam oksidasi asam lemak, sejumlah penelitian molekuler telah dilakukan. Salah satu ekspresi molekuler yang menarik perhatian adalah FAT/CD36, yang terlibat langsung dalam oksidasi asam lemak di mitokondria. Penelitian menarik telah menunjukkan bahwa otot jenis slow-twitch memiliki kepadatan CD36 yang lebih tinggi di mitokondria mereka. Hal ini sejalan dengan kapasitas maksimal yang lebih tinggi dari oksidasi asam lemak pada jenis otot ini.

Peningkatan yang signifikan dalam protein CD36, hingga mencapai 63% setelah 120 menit latihan aerobik, menggambarkan pentingnya protein ini dalam menjaga keseimbangan sumber energi selama latihan fisik. Temuan ini menyoroti betapa krusialnya peran protein CD36 dalam proses oksidasi asam lemak selama latihan.

Pelajari lebih lanjut mengenai obesitas dan penanganannya

Manajemen Obesitas

Obesitas adalah masalah kesehatan yang mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat karena memiliki kontribusi yang sangat signifikan terhadap beberapa jenis penyakit seperti tekanan darah tinggi, penyakit kardiovaskuler dan diabetes tipe 2. Pelajari manajemen obesitas dari konsep hingga praktis, Kembangkan program penurunan berat badan berbasis bukti ilmiah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *