Mengapa Obesitas Berdampak Buruk Bagi Masalah Metabolik ?

Obesitas merupakan salah satu risiko utama dari kejadian sindroma metabolik. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa semakin tingginya berat badan seseorang maka akan semakin rendah sensitivitasnya terhadap insulin atau yang disebut sebagai resistensi insulin. Resistensi insulin ini yang kemudian menjadi pangkal dari berbagai perubahan metabolik lainnya seperti perubahan profil lipid dan tekanan darah (Golbidi dan Laher, 2014) . Pada kasus individu dengan kelebihan berat badan seperti overweight dan obesitas, penambahan berat tubuh berkaitan erat dengan penambahan massa lemak. Dewasa ini semakin banyak penelitian yang menunjukan posisi lemak sebagai jaringan yang endokrin yang tidak hanya berfungsi sebagai penyimpan cadangan energi tetapi juga dapat menghasilkan adipokin dan sitokin. Zat tersebut memiliki beragam fungsi mulai dari pengaturan metabolisme energi, nafsu makan, inflamasi hingga pembentukan atherosklerosis. Jika zat-zat tersebut dihasilkan secara berlebihan maka dapat mengarah pada gangguan metabolik seperti resistensi insulin dan dislipidemia. 

Jaringan lemak memengaruhi metabolisme tubuh secara keseluruhan melalui adipokin dan sitokin yang dihasilkan seperti adiponektin, leptin, tumor necrosis factor alpha (TNF-α) dan interleukin 6. Adiponektin adalah salah satu regulator penting dari respon terhadap insulin dan homeostasis glukosa (Ohashi et al, 2012). Leptin adalah hormon yang dapat memengaruhi nafsu makan dan pengeluaran energi (Myers et al, 2008). TNF-α adalah sitokin yang dihasilkan oleh komponen sel imun dalam tubuh untuk menghasilkan reaksi inflamasi dan menginduksi kematian sel (apoptosis). Pada individu yang mengalami obesitas, makrofag masuk ke dalam jaringan adiposa dan menghasilkan TNF-α (Clement et al, 2004). Seperti halnya TNF-α, IL-6 adalah molekul yang dihasilkan oleh sistem imun untuk melaksanakan fungsinya. Selain berperan dalam proses inflamasi, IL-6 juga ternyata mampu memengaruhi metabolisme lipid dan glukosa serta sensitivitas insulin (Vozarova et al, 2001).

  1. Adiponektin

Kadar adiponektin dalam tubuh berhubungan terbalik dengan indeks masa tubuh dimana penambahan berat badan dapat meningkatkan kadarnya sedangkan penurunan berat badan dapat meningkatkan kadar adiponektin (Yang et al, 2001). Adiponektin menurunkan produksi glukosa di hepar dan meningkatkan ambilan glukosa dan asam lemak di otot skelet. Selain itu, adiponektin juga diketahui mampu mencegah inflamasi serta mengurangi progresifitas dari atherosklerosis. Peran aktivitas fisik dan latihan terhadap kadar adiponektin masih belum diketahui secara jelas karena beberapa studi menemukan perbedaan hasil. Perbedaan ini dikarenakan perbedaan jenis aktivitas fisik yang dilakukan, lama intervensi dan karakteristik sujek yang diteliti. Pada penelitian yang dilakukan oleh Numao et al. (2011) menunjukan bahwa latihan dengan intensitas tinggi pada individu obesitas dapat menurunkan kadar adiponektin sedangkan penelitian yang dilakukan Saunders et al. (2012) menunjukan bahwa pemberian latihan dengan tingkat intensitas rendah hingga sedang dapat meningkatkan kadar adiponektin.

  1. Leptin

Fungsi utama leptin adalah menekan nafsu makan, meningkatkan pembakaran kalori dan merupakan salah satu penanda dari obesitas. Hormon ini sangat sensitif terhadap asupan makanan, saat seseorang dalam kondisi kekurangan energi seperti saat puasa maka leptin akan turun dengan drastis. Penurunan ini akan menurunkan sinyal dari sistem saraf pusat, hormon tiroid, gonadotropin-releasing hormone, insulin-like growth factor I (IGF-I), serta augmentasi dari growth hormone (GH) dan adrenocorticotropic hormone (ACTH). Keseluruhan aksi ini akan menurunkan penggunaan energi dan mencegah penurunan berat badan. Pada keadaan obesitas, terjadi peningkatan kadar leptin, hal ini kemudian diperkirakan diakibatkan oleh resistensis leptin. Peningkatan kadar leptin ini berdampak pada status inflamasi yang akhirnya akan mengarah pada sindroma metabolik. Latihan jangka pendek dan sifatnya sesaat tidak mampu memengaruhi kadar leptin, sedangkan aktivitas dengan durasi yang lebih panjang (>60 menit) dengan peningkatan pengeluaran energi yang signifikan (>800 kcal) dapat menurunkan kadar leptin (Kraemer et al, 2002). 

  1. Tumor Necrosis Factor-α (TNF- α)

TNF- α adalah molekul yang dapat menimbulkan efek inflamasi dan beberapa studi menyebutkan bahwa jaringan lemak abdominal lebih banyak menghasilkan TNF-α dibandingkan jaringan lemak subkutan. Menariknya, hasil dari beberapa studi menyebutkan bahwa TNF-α berhubungan langsung dengan kejadian resistensi insulin. Pada taraf seluler diketahui bahwa TNF-α dapat mengaktivasi stress-related kinase yang dapat menghambat insulin. Stress-related kinase ini juga memiliki kemampuan untuk memacu produksi TNF-α baru sehingga memperparah keadaan (Diehl et al, 2004). Latihan dan aktivitas fisik dapat menjadi pelindung terhadap inflamasi karena selain dapat menurunkan TNF-α. (Festa et al, 2000). 

Untuk mendapatkan materi lebih lanjut, bergabunglah dengan Kelas Manajemen Obesitas yang tersedia di Udemy. Gunakan tautan pada gambar berikut.

Oleh Harry Freitag LM, S.Gz, M.Sc, RD, PhD

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *