Ditulis oleh : Harry Freitag Luglio Muhamma, PhD, RD (Peneliti, Dietisien, Enterpreneur)
Obesitas adalah akibat dari interaksi energi yang kompleks antara tubuh manusia dan lingkungannya. Ketidakseimbangan antara asupan makanan dan pengeluaran energi melalui aktivitas fisik serta metabolisme basal dapat mengakibatkan penumpukan energi berlebih dalam bentuk jaringan adiposa. Penelitian terkini di ranah obesitas telah membuka tabir atas peran penting aktivitas fisik dalam penggunaan energi. Energi yang kita keluarkan terbagi menjadi beberapa komponen penting, termasuk pengeluaran untuk metabolisme basal, aktivitas fisik, dan aktivitas spontan.
Ternyata tubuh kita juga membutuhkan energi untuk memproduksi panas. Proses ini dikenal sebagai termogenesis. Dengan pengetahuan mendalam dalam fisiologi manusia dan gizi, para ahli kini semakin memahami bagaimana termogenesis memengaruhi pengeluaran energi dan akar penyebab obesitas.
Secara prinsip, ada dua jenis termogenesis yang perlu kita perhatikan: pertama, termogenesis wajib atau obligatory, yang merupakan bagian dari metabolisme basal; dan kedua, termogenesis adaptif, yang merupakan respons terhadap rangsangan eksternal yang memicu pembentukan panas. Termogenesis adaptiflah yang bertanggung jawab atas pengeluaran energi dalam kondisi-kondisi spesifik seperti perubahan suhu dan lingkungan.
Termogenesis tanpa menggigil atau yang biasa disebut non-shivering termogenesis, adalah proses alami yang menghasilkan panas sebagai tanggapan terhadap suhu yang rendah, sementara diet-induced termogenesis adalah proses yang dipicu oleh konsumsi makanan.
Meskipun termogenesis adaptif hanya menyumbang sekitar 10% dari total pengeluaran energi, riset menunjukkan bahwa hal ini memiliki dampak besar pada berat badan dan status obesitas seseorang.
Jaringan Lemak Coklat
Jangan remehkan kekuatan termogenesis – proses penting dalam tubuh yang membantu membakar lemak dan meningkatkan metabolisme Anda. Meskipun termogenesis terjadi di semua jaringan tubuh, ada satu area yang menjadi pusat perhatian utama: jaringan adiposa coklat atau yang dikenal dengan sebutan brown adipose tissue (BAT), dan otot skelet.
Pada BAT, panggung utamanya dikuasai oleh protein tanpa ikatan yang disebut Uncoupling Protein (UCP), terutama UCP1.
Tugasnya? Memicu produksi panas sehingga energi tidak diubah menjadi ATP.
UCP1 bertindak sebagai konduktor proton yang mengarah pada proses uncoupling yang menghasilkan panas. Bayangkan itu sebagai mesin pembakaran kalori di dalam tubuh Anda, yang siap beraksi setiap saat. Dengan memahami mekanisme termogenesis ini, Anda dapat mengoptimalkan gaya hidup sehat Anda untuk membakar kalori lebih efisien.
Pengendalian Thermogenesis
Tubuh manusia telah dilengkapi dengan sistem internal yang luar biasa untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan suhu. Salah satu fitur kunci dari keajaiban ini adalah termogenesis, sebuah proses di mana tubuh membakar kalori untuk menghasilkan panas sebagai respons terhadap perubahan suhu di sekitarnya.
Pusat kendali dari fenomena ini terletak pada sistem saraf simpatik (SNS) dan hormon tiroid.
Ketika suhu turun, kulit tubuh menjadi sensor pertama yang mengirimkan sinyal ke pusat kontrol di otak, yang dikenal sebagai hipotalamus. Hipotalamus kemudian beraksi, mengirim sinyal melalui SNS ke efektor termogenik, seperti jaringan adiposa coklat (BAT) dan otot rangka, untuk mulai memproduksi panas.
Dalam proses ini, reseptor β-adrenergik memainkan peran penting. Mereka menerima sinyal dari SNS dan menggerakkan sel untuk memulai proses termogenesis. Meskipun jalur SNS dan hormon tiroid berbeda, penelitian menunjukkan bahwa keduanya terkait erat. Hormon tiroid, misalnya, membantu meningkatkan efek sinyal SNS, khususnya dalam aktivasi reseptor β-adrenergik.
Namun, tidak semua tubuh bereaksi dengan cara yang sama.
Faktor genetik dan keadaan obesitas memainkan peran dalam seberapa efektif seseorang dalam membakar kalori melalui termogenesis. Orang yang mengalami obesitas cenderung memiliki respons yang lebih rendah terhadap rangsangan termogenik, sebagian karena isolasi lemak subkutan mereka yang menghalangi proses ini.
Faktor hormon juga memainkan peran, dengan penelitian menunjukkan bahwa karakteristik biologis individu dapat memengaruhi kemampuan mereka untuk melakukan termogenesis.
Suhu lingkungan memainkan peran penting dalam mengatur respons tubuh kita terhadap lingkungan sekitar. Tidak hanya sekadar menentukan kenyamanan atau kesenangan, suhu juga memiliki dampak yang signifikan pada proses internal tubuh, terutama dalam hal termogenesis, atau produksi panas oleh tubuh.
Sebuah penelitian menarik oleh van Ooijen et al. pada tahun 2004 menggali lebih dalam tentang bagaimana suhu lingkungan memengaruhi termogenesis pada manusia. Dalam penelitian tersebut, sekelompok 10 pria dan 10 wanita menjadi subjek yang terlibat dalam pengukuran tingkat metabolisme mereka.
Yang menarik, penelitian ini menemukan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dalam tingkat metabolisme awal antara musim dingin dan musim panas. Meskipun begitu, hal yang menarik terjadi ketika suhu ruangan diperendah dari 22°C ke 15°C selama musim dingin. Para subjek menunjukkan tingkat metabolisme yang lebih tinggi dibandingkan dengan saat berada dalam kondisi musim panas.
Ini adalah temuan yang menarik dan mencerahkan. Hal ini menandakan bahwa ketika suhu lingkungan menurun, tubuh kita melakukan reaksi yang signifikan untuk mempertahankan kehangatan internalnya. Sebaliknya, suhu lingkungan yang lebih tinggi akan memicu penurunan upaya tubuh untuk memicu termogenesis.
Dari sudut pandang kesehatan, pemahaman tentang bagaimana suhu lingkungan mempengaruhi termogenesis tidak hanya relevan bagi kenyamanan sehari-hari, tetapi juga dalam konteks manajemen berat badan dan kesehatan umum.
Bagaimana Tubuh Menghasilkan Panas Melalui UCP1 ?
Dalam upaya penurunan berat badan, energi menjadi kunci utama. Bagi sel-sel tubuh manusia, proses pembentukan ATP dari mitokondria menjadi fondasi yang vital. Namun, di balik proses ini terdapat mekanisme rumit yang patut diungkap.
Pada tingkat yang paling mendasar, pembentukan ATP membutuhkan proses coupling yang terjadi melalui gradien proton elektron di dalam membran mitokondria. Namun, ironisnya, proton juga dapat bocor melalui membran dalam mitokondria, menghasilkan panas alih-alih ATP yang diinginkan. Tingkat kebocoran proton ini bervariasi tergantung pada jenis sel, dengan rentang antara 20 hingga 70% dari tingkat metabolisme seluler.
Proses kebocoran proton ini, yang dikenal sebagai proses uncoupling, merupakan respons fisiologis terhadap rangsangan internal atau eksternal.
Meskipun beberapa bukti menunjukkan bahwa beberapa proses uncoupling terjadi tanpa keterlibatan protein membran, sebagian besar regulasi proses ini melibatkan berbagai jenis protein.
Ketiga protein yang paling diperkirakan terlibat dalam proses uncoupling adalah uncoupling protein (UCP), adenine nucleotide translocase (ANT), dan glutamate carrier. Di antara trinitas protein ini, UCP telah menjadi subjek penelitian paling intens, terutama terkait dengan obesitas.
UCP1, yang hadir di jaringan adiposa coklat (BAT), memiliki peran krusial dalam menjaga homeostasis sel melalui regulasi suhu tubuh dengan menghasilkan panas, suatu proses yang dikenal sebagai thermogenesis. Selain UCP1, ada beberapa paralog UCP, termasuk UCP2, UCP3, UCP4, dan UCP5. Namun, meskipun memiliki kemiripan dalam nama, fungsi fisiologis dari paralog tersebut berbeda dengan UCP1.
UCP1 secara khusus dikenal sebagai pemicu proses uncoupling yang berperan penting dalam adaptasi tubuh terhadap suhu dingin. Dengan kata lain, UCP1 adalah rahasia utama di balik kemampuan tubuh untuk menyesuaikan diri dengan perubahan suhu eksternal, yang krusial untuk kelangsungan hidup dan kesejahteraan.
Inilah yang Harus Anda Ketahui Tentang UCP1 dan Mengapa Ini Penting bagi Kesehatan Anda.
Anda mungkin pernah merasakan sensasi menggigil ketika suhu turun secara tiba-tiba. Tahukah Anda bahwa tubuh Anda memiliki regulator bawaan yang membantu mengatasi suhu dingin ini?
UCP1, yang merupakan singkatan dari Uncoupling Protein 1, adalah kunci dari proses termogenesis – kemampuan tubuh untuk menghasilkan panas. Gangguan pada gen yang menghasilkan UCP1 dapat mengganggu kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan suhu dingin.
Teori ini didukung oleh serangkaian penelitian, termasuk penelitian yang dilakukan oleh Meyer et al. pada tahun 2010.
Awalnya, penyelidikan dimulai ketika Enerback et al. pada tahun 1997 mengenalkan model tikus yang tidak mampu memproduksi UCP1. Meskipun pada awalnya diharapkan bahwa kekurangan UCP1 akan menyebabkan obesitas, penelitian tersebut justru menemukan bahwa tidak ada efek langsung terhadap obesitas atau kelebihan makan.
Temuan yang menarik datang dari penelitian yang dilakukan oleh Liu et al. pada tahun 2003, yang menunjukkan bahwa tikus yang kurang ekspresi UCP1 justru lebih tahan terhadap obesitas.
Namun, tidak semua penelitian setuju dengan temuan tersebut.
Feldmann et al. melaporkan bahwa defisiensi atau kekurangan protein UCP1 dapat menginduksi obesitas, tetapi efek ini ternyata tergantung pada suhu lingkungan. Ketika tikus ditempatkan dalam lingkungan yang netral secara termal, defisiensi UCP1 mampu menginduksi obesitas, baik dalam diet normal maupun diet tinggi lemak. Perbedaan suhu lingkungan di mana tikus ditempatkan dalam penelitian berbeda-beda, dengan tikus dalam penelitian Liu et al. disimpan pada suhu 20oC, sedangkan tikus dalam penelitian Feldmann et al. disimpan pada suhu 29oC.
Temuan ini mendorong hipotesis menarik bahwa suhu lingkungan memainkan peran penting dalam interaksi antara UCP1 dan obesitas pada tikus. Ini memberikan wawasan baru yang penting dalam memahami bagaimana tubuh kita merespons suhu dingin dan bagaimana hal itu dapat mempengaruhi kesehatan kita secara keseluruhan.
Jadi, apa yang bisa kita ambil dari semua ini?
Penting untuk memahami bahwa UCP1 bukan hanya tentang menghasilkan panas; itu juga terkait dengan bagaimana tubuh kita menanggapi lingkungan sekitarnya. Dengan memahami hubungan antara UCP1 dan penanganan suhu dingin, kita dapat membuka pemahaman baru untuk pengembangan terapi yang dapat meningkatkan kesehatan kita secara keseluruhan.
Dari laboratorium penelitian hingga meja makan, peran genetika dalam menentukan bagaimana tubuh kita merespons makanan telah menjadi topik hangat yang diperdebatkan. Tetapi apakah Anda pernah berpikir bahwa gen Anda mungkin adalah kunci utama dalam pertempuran melawan obesitas?
Bukan rahasia lagi bahwa hasil studi pada hewan telah memberikan wawasan penting tentang bagaimana variasi genetik, seperti UCP1, dapat memengaruhi cara tubuh kita mengatur suhu dan bahkan mengonsumsi energi. Namun, apa yang lebih mengejutkan adalah penemuan terbaru yang mengaitkan variasi genetik ini dengan risiko obesitas pada manusia.
Studi yang dilakukan oleh Nagai et al. pada tahun 2003 menyoroti fakta bahwa genetika UCP1 tidak hanya memodifikasi respon tubuh terhadap diet tinggi lemak dan lingkungan suhu, tetapi juga memengaruhi pengeluaran energi secara keseluruhan.
Ini membuka pintu bagi pemahaman yang lebih dalam tentang bagaimana polimorfisme dalam UCP1 dapat memengaruhi fenotipe obesitas melalui pengaruhnya terhadap ekspresi dalam jaringan adiposa.
Penelitian eksperimental yang dilakukan pada 22 anak laki-laki yang sehat menunjukkan bahwa individu dengan varian genetik yang berbeda dari UCP1 memiliki respons yang berbeda terhadap diet tinggi lemak. Anak-anak dengan varian GG, misalnya, menunjukkan respon termogenesis yang lebih rendah setelah mengonsumsi makanan tinggi lemak dibandingkan dengan yang lain. Temuan ini memberikan landasan yang kuat untuk menghubungkan latar belakang genetik dengan efek termogenik makanan pada manusia.
Namun, kontroversi genetika tidak berhenti di situ. Penelitian lain oleh Oberkofler et al. pada tahun 1997 menemukan bahwa ekspresi UCP1 lebih tinggi dalam jaringan adiposa intraperitoneal daripada ekstraperitoneal. Dan di tahun berikutnya, Esterbauer et al. menunjukkan bahwa polimorfisme genetik tertentu dapat mempengaruhi ekspresi UCP1, terutama pada individu obesitas.
Meskipun demikian, tidak semua penelitian setuju. Meskipun polimorfisme gen UCP1 telah menjadi pusat perhatian dalam banyak penelitian epidemiologi molekuler, sebagian besar studi tidak menemukan hubungan langsung antara polimorfisme ini dan obesitas. Namun, beberapa studi menunjukkan hubungan yang signifikan, terutama dalam populasi tertentu.
Jadi, apakah gen UCP1 adalah kunci untuk memahami misteri obesitas? Meskipun bukti-bukti masih dalam proses penelitian, satu hal pasti: gen kita memainkan peran yang lebih kompleks daripada yang pernah kita bayangkan dalam mempengaruhi berat badan dan kesehatan kita secara keseluruhan.
Pelajari lebih lanjut mengenai obesitas dan penanganannya
Obesitas adalah masalah kesehatan yang mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat karena memiliki kontribusi yang sangat signifikan terhadap beberapa jenis penyakit seperti tekanan darah tinggi, penyakit kardiovaskuler dan diabetes tipe 2. Pelajari manajemen obesitas dari konsep hingga praktis, Kembangkan program penurunan berat badan berbasis bukti ilmiah.