Beberapa Faktor yang Menyebabkan Kegemukan

Asupan energi yang tinggi

Asupan energi merupakan komponen utama dari kejadian obesitas. Tingginya asupan energi dapat diinduksi oleh tingginya asupan makan. Terdapat beberapa faktor yang dapat menjadi risiko peningkatan asupan makan seperti:  

  • harga makanan yang semakin murah, 
  • porsi makanan yang semakin besar, 
  • rasa yang semakin diminati, 
  • ragam pilihan makanan yang tersedia 
  • akses terhadap makanan yang semakin terjangkau
  • metode untuk mempersiapkan makanan yang semakin cepat dan sederhana
  • dorongan sosial dan kultural terhadap makanan

Tingginya asupan kalori dapat menyebabkan seseorang menjadi obesitas dengan beberapa cara. Pertama, tingginya konsumsi energi baik itu berasal dari protein, karbohidrat dan lemak akan menyediakan substrat untuk penyimpanannya. Kedua, konsumsi karbohidrat sederhana yang tinggi akan meningkatkan kadar insulin postprandial yang kemudian memicu penyimpanan energi dalam bentuk trigliserida. Proses ini disebut sebagai de novo lipogenesis (yang nanti akan dibahas secara mendalam pada bab berikutnya). Tingginya kadar insulin juga dapat berdampak pada peningkatan rasa lapar karena mampu menginduksi penurunan glukosa. Saat glukosa dalam darah rendah makan seseorang akan sangat terdorong untuk mencari makanan yang tinggi energi sebagai kompensasinya.

Dewasa ini dengan berkembangnya era industrialisasi makanan semakin banyak ditemukan makanan yang kaya akan lemak dan karbohidrat sederhana dan rendah akan serat. Jenis lemak yang banyak ditemui adalah lemak jenuh. Dan peneletitian-penelitian telah menunjukan bahwa lemak jenuh memberikan efek yang lebih kuat terhadap penambahan berat badan dibandingkan dengan lemak tidak jenuh (Piers et al 2003).

Sosio-ekonomi

Sosio-ekonomi dapat memberikan dampak yang cukup besar terhadap prevalensi obesitas di suatu negara. Pada penelitian-penelitian yang dilakukan pada migran diketahui bahwa obesitas merupakan faktor yang banyak dijumpai pada kelompok tersebut. Meskipun pada awalnya obesitas dikaitkan dengan kondisi sosial ekonomi yang tinggi, kini banyak studi-studi yang menunjukan kondisi sebaliknya. Obesitas banyak ditemukan justru pada individu dengan konsisi sosioekonomi menengah ke bawah. Para ilmuwan bespekulasi bahwa tingginya kejadian obesitas pada kelompok pekerja yang memiliki kondisi sosioekonomi rendah adalah karena keterbatasan dalam kemampuan mereka mengakses pilihan makanan yang sehat. Argumentasi ini cukup relevan karena dewasa ini pilihan makanan murah biasanya adalah makanan terproses dan makanan instan yang kaya akan lemak dan gula sederhana. Sedangkan bahan makanan segar dan lebih sehat menjadi cenderung lebih mahal. Selain kondisi ekonomi, tingkat pendidikan juga berpengaruh terhadap kejadian obesitas. Pada wanita, dilaporkan bahwa tingkat pendidikan berhubungan terbalik dengan obesitas (Sobal  dan  Stunkard, 1989). 

Kami melakukan penelitian mengenai peran dari faktor sosioekonomi terhadap kejadian overweight atau kelebihan berat badan pada wanita yang tinggal di Kepulauan Raas dan Sapudi. Kami tertarik melakukan penelitian tersebut karena masih jarang penelitian di Indonesia yang dilakukan di daerah terpencil mengenai topik obesitas. Ini menjadi menarik karena Indonesia adalah negara bahari dengan kepulauan yang cukup banyak. Raas dan Sapudi adalah kepulauan di daerah dekat Pulau Madura. Dibandingkan pulau-pulau lain yang ada di daerah itu, Raas dan Sapudi adalah pulau yang paling banyak dihuni. Penelitian ini melibatkan 507 pria dan wanita yang kami ukur status gizinya. Setelah diukur kami melakukan wawancara terhadap wanitanya yang sebagian besar adalah ibu rumah tangga. 

Dari penelitian tersebut kami mengetahui bahwa wanita yang tinggal di kepulauan tersebut memiliki indeks massa tubuh yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Pada studi ini kami juga mempelajari faktor sosioekonomi yang melatarbelakangi terjadinya kegemukan pada wanita. Hasil dari wawancara kami menunjukan bahwa overweight berkaitan dengan status pekerjaan, jarak untuk memperoleh makanan dan jumlah pengeluaran yang diperlukan untuk membeli makanan. Satu hal lagi yang menarik adalah kami juga menemukan bahwa kegemukan berkaitan erat dengan usia saat menikah. Rata-rata wanita yang saat itu mengalami overweight atau kegemukan menikah lebih muda dibandingkan dengan mereka yang tidak mengalami overweight.  

Dari penelitian ini kami menunjukan bahwa kasus kegemukan di daerah pedesaan atau lokasi terpencil juga sudah mulai harus mendapatkan perhatian. Sebelumnya kegemukan selalu dikaitkan dengan kehidupan di kota besar. Meskipun demikian sepertinya saat ini sudah mulai terjadi pergeseran paradigma dan kasus bahwa obesitas dan kegemukan juga mulai mengancam individu yang tinggal di daerah yang jauh dari kota. Beberapa studi menyebutkan bahwa hal ini berkaitan erat dengan transformasi pola makan dan aktivitas fisik pada individu yang tinggal di daerah pedesaan tersebut. 

Wanita secara umum lebih banyak yang mengalami masalah berat badan dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini tidak hanya dilaporkan pada penelitian ini, tetapi juga didukung oleh hasil dari Riset Kesehatan Dasar atau RISKESDAS serta studi yang dilakukan di luar negri. Secara biologis wanita lebih mudah menyimpan lemak dibandingkan laki-laki karena pengaruh hormon terutama estrogen (bagian ini akan lebih jauh dibahas pada bab tersendiri). 

Dari penelitian ini kami juga menemukan sebuah fakta yang menarik bahwa wanita yang tidak memiliki pekerjaan (selain sebagai ibu rumah tangga) memiliki risiko lebih tinggi untuk menjadi gemuk. Hal ini dikarenakan bagi individu yang tinggal di daerah kepulauan ini, memiliki pekerjaan di pulau terpencil membutuhkan aktivitas fisik yang tinggi karena jenis pekerjaannya serta saran-prasarana (seperti transportasi) yang lebih terbatas dibandingkan di perkotaan. 

Status pernikahan ternyata merupakan salah satu faktor sosial yang berkaitan dengan kejadian kegemukan pada wanita yang tinggal di Kepulauan Raas dan Sapudi. Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Cina yang menunjukan bahwa wanita yang masih lajang memiliki IMT yang lebih rendah dari yang telah menikah atau bercerai. Dalam penelitian kami, semakin muda usia pernikahan wanita, maka akan semakin mudah untuk menjadi gemuk. Hal ini diperkirakan karena dalam struktur sosial, wanita memiliki tanggung jawab untuk menyiapkan makanan bagi keluarganya sehingga aksesnya terhadap makanan cukup tinggi.  

Kondisi Awal Kehidupan

Kondisi awal kehidupan juga memegang peranan penting dalam kejadian obesitas. Peningkatan berat badan saat bayi merupakan faktor risiko kejadian obesitas. Beberapa penelitian menunjukan terdapat hubungan yang unik antara berat lahir bayi dan status gizi saat dewasa. Bayi yang dilahirkan dengan berat lahir rendah akan mudah mengalami penumpukan lemak abdominal sedangkan bayi yang dilahirkan dengan berat bayi lahir yang tinggi berhubungan dengan peningkatan tingkat adipositas seluruh tubuh saat dewasa (Oken dan Gillman, 2003). 

Kondisi pubertas juga berdampak pada risiko obesitas. Studi yang dilakukan di Eropa menunjukan bahwa remaja putri yang mencapai menarche sebelum usia 11 tahun memiliki risiko lebih tinggi untuk menjadi obes saat dewasa (Laitinen et al, 2001).  Hal ini mungkin dapat diakibatkan oleh tingginya akumulasi lemak akan memacu menarche lebih dahulu atau karena maturasi seksual ini akan berdampak pada metabolisme energi secara keseluruhan (penjelasan secara mendalam mengenai efek dari hormon kewanitaan seperti estrogen terhadap kejadian obesitas akan dibahas pada bab tersendiri).

Kondisi psikologis

Sebagian besar orang makan sebagai respon terhadap emosi yang negatif sehingga faktor psikologi adalah komponen yang perlu dipertimbangkan sebagai salah satu faktor yang dapat memicu obesitas. Sebagai contoh, saat seseorang mengalami stress atau tekanan psikologis, maka sebagian dari mereka akan mengkompensasinya dengan meningkatkan asupan makanan terutama dari sumber bahan makanan yang kaya akan energi. Hal ini dimediasi oleh hormon glucocorticoid. Makanan yang tinggi energi tersebut juga biasa disebut sebagai comfort food atau maknaan penenang. Oleh karena makanan ini tinggi kalori maka akan mudah mengalami perubahan menjadi simpanan lemak. 

Seperti halynya stress psikologis, kondisi depresi dapat menyebabkan keinginan makan yang berlebih yang akhirnya akan mengarah pada akumulasi lemak. Sebuah penelitian menunjukan bahwa pada pasien yang mengalami obesitas juga ditemukan prevalensi yang tinggi terhadap gangguan psikologis (Sansone et al, 1997). Peran keluarga terhadap kesehatan psikologis anak juga berdampak terhadap kejadian obesitas. Studi menyebutkan bahwa pola makan pada keluarga yang salah, konflik dalam keluarga serta gangguan kejiwaan pada orang dapat memiliki dampak terhadap kejadian kelebihan berat badan anak. 

Waktu dan kualitas tidur

Penelitian pada manusia menunjukan bahwa rendahnya jam tidur yang kurang dapat berdampak pada peningkatan IMT. Hal ini didasarkan hasil-hasil penelitian sebelumnya yang mengemukakan bahwa rendahnya waktu tidur berhubungan dengan gangguan metabolisme energi dan nafsu makan. 

Obat obatan

Beberapa jenis obat-obatan seperti anti-depresan, kontrasepsi, kortikosteroids,  agen antidiabetes dan anti hipertensi  diketahui dapat meningkatkan berat badan.

Usia kehamilan

Studi yang dilakukan pada manusia dan hewan menunjukan bahwa usia kehamilan dapat memberikan dampak terhadap kejadian kegemukan pada anaknya. Semakin tinggi usia kehamilan maka akan semakin meningkat risiko anak tersebut untuk menjadi obes.

Gangguan endokrin

Dalam era modernisasi seperti saat ini kita semakin mudah terpapar oleh polusi dan limbah dari lingkungan. Polusi ini bisa berasal dari industri maupun berasal dari rumah tangga dan transportasi. Beberapa produk sisa dari proses industri dapat beredar di lingkungan sekitar tempat tinggal kita dan masuk melalui makanan dan minuman yang kita konsumsi setiap harinya. Beberapa limbah atau polusi tersebut dapat mengganggu sistem endokrin kita. Salah satu yang menarik untuk dipelajari adalah limbah yang sifatnya seperti estrogen dan beberapa substansi yang dapat mengaktivasi adipogenesis. 

Suhu lingkungan

Tubuh manusia memiliki rentang suhu tersendiri yang diperukan agar seluruh reaksi biokimia dan metabolisme dapat berjalan lancar. Meskipun demikian, suhu di lingkungan mungkin berbeda-beda. Untuk tetap menjaga tubuh tetap normal maka manusia meresponnya dengan menghasilkan panas melalui proses yang disebut sebagai termogensis. Termogenesis ini memungkinkan kita tetap hangat pada kondisi dingin. Dewasa ini dengan semakin berkembangnya teknologi kita semakin lama menghabiskan waktu pada kondisi thermoneutral zone atau lingkungan yang tidak membutuhkan termogenesis. Hal ini akan berdampak pada kondisi dimana tubuh tidak lagi mengeluarkan energi dalam bentuk panas sebagai kompensasi suhu yang rendah. Jika terjadi secara terus menerus makan tubuh akan mengalami penurunan keluaran energi. 

Untuk mendapatkan materi lebih lanjut, bergabunglah dengan Kelas Program Penurunan Berat Badan yang tersedia di Udemy. Gunakan tautan pada gambar berikut.

Oleh Harry Freitag LM, S.Gz, M.Sc, RD, PhD

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *