Intermittent Fasting dan Puasa Ramadan – Apa Bedanya ?

Setiap tahun, umat Islam di seluruh dunia merayakan bulan Ramadan dengan menjalankan ibadah puasa. Puasa merupakan ritual keagamaan yang dilakukan dengan menahan diri dari makan, minum, berhubungan seksual, dan perilaku berlebihan dari terbit fajar hingga matahari terbenam. Selama periode 30 hari ini, seseorang diwajibkan mengubah pola makannya, memfokuskan konsumsi makanan pada malam hari. Perubahan ini juga memengaruhi pola tidur, dengan umat Islam yang berpuasa dianjurkan untuk sahur, yaitu makan dan minum sebelum fajar.

Meskipun penelitian tentang puasa Ramadan belum menjadi fokus utama dalam publikasi kedokteran Barat, saat ini telah ada perkembangan dalam penelitian yang mengevaluasi dampaknya pada tubuh manusia. Salah satu konsep yang sedang diuji adalah potensi puasa Ramadan sebagai alternatif untuk menurunkan berat badan pada individu yang mengalami kelebihan berat badan. Sebuah studi meta-analisis terbaru menunjukkan bahwa puasa Ramadan secara signifikan mampu menghasilkan penurunan berat badan lebih dari 1 kg (Sadeghirad et al, 2012). Salah satu hipotesis yang berkembang adalah bahwa penurunan berat badan ini erat kaitannya dengan pengurangan asupan makanan selama puasa (Hallak dan Nomani, 1988). Namun, penting untuk dicatat bahwa tidak semua penelitian mencapai kesimpulan yang sama mengenai dampak perubahan asupan makanan terhadap penurunan berat badan (Sadeghirad et al, 2012).

Meskipun umumnya individu yang berpuasa Ramadan mengalami penurunan berat badan, seringkali hal ini diikuti oleh peningkatan berat badan yang signifikan setelah Ramadan berakhir. Fenomena ini dikenal sebagai “efek yo-yo,” dan diperkirakan berkaitan dengan penurunan aktivitas fisik serta peningkatan asupan makanan setelah Ramadan (Frost dan Pirani, 1987). Meskipun begitu, mekanisme pasti dari efek ini masih belum sepenuhnya dipahami.

Puasa Ramadan adalah contoh nyata bagaimana perubahan pola makan dan tidur dapat memengaruhi metabolisme tubuh. Selama bulan suci ini, umat Islam di seluruh dunia mengikuti ritual serupa, yaitu menahan diri dari makan, minum, dan aktivitas tertentu mulai dari matahari terbit hingga matahari terbenam. Durasi puasa bervariasi tergantung pada lokasi geografis, misalnya, di Indonesia puasa biasanya berlangsung sekitar 13-14 jam, sedangkan di negara-negara dengan empat musim, puasa bisa mencapai 18-20 jam, terutama saat musim panas. Sebagai akibatnya, individu yang berpuasa harus menggeser waktu makan dan minum ke malam hari. Mereka biasanya makan dua kali, yaitu saat berbuka dan saat sahur (beberapa menit sebelum fajar). Karena itu, puasa Ramadan tidak hanya mengharuskan seseorang menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga mengubah pola tidurnya, dengan bangun dini hari untuk persiapan sahur atau untuk melaksanakan ibadah selama Ramadan.

Sebagai hasil dari perubahan pola makan, pola minum, dan tidur ini, banyak individu mengalami penurunan berat badan yang signifikan selama Ramadan. Studi meta-analisis telah mengonfirmasi bahwa puasa Ramadan dapat menghasilkan penurunan berat badan lebih dari 1 kg (Sadeghirad et al, 2012). Namun, perlu diingat bahwa efek ini tidak selalu berkaitan dengan penurunan asupan makanan, karena hal ini sangat tergantung pada kebiasaan masyarakat setempat dan budaya mereka.

Puasa yang Dijalankan Selama Ramadan

Puasa yang dipraktikkan oleh umat Muslim selama bulan Ramadan adalah salah satu contoh dari pola makan intermittent fasting. Intermittent fasting adalah kondisi atau pola makan di mana seseorang secara berkala menahan diri dari mengonsumsi makanan selama periode yang lebih lama daripada periode saat kita tidur, yang umumnya disebut sebagai “overnight fasting” karena selama periode ini, manusia tidak makan.

Overnight fasting adalah fenomena yang normal dan sering digunakan sebagai referensi saat individu berusaha mencapai keseimbangan energi negatif, yang dapat mendukung penurunan berat badan.

Program intermittent fasting secara umum dapat menghasilkan pembatasan atau penurunan asupan energi, meskipun ini tidak berlangsung sepanjang hari. Terdapat tiga jenis protokol intermittent fasting yang umum dikenal, yaitu alternate day fasting, whole-day fasting, dan time-restricted feeding. Setiap jenis intermittent fasting memiliki jadwal makan (feeding) dan puasa (fasting) yang berbeda-beda. Berikut adalah penjelasan mengenai karakteristik masing-masing metode intermittent fasting:

  1. Alternate Day Fasting (Puasa Bergantian)

Alternate day fasting adalah program puasa yang terdiri dari beberapa hari periode makan bebas (tidak dibatasi) dan beberapa hari periode puasa. Selama periode puasa pada jenis intermittent fasting ini, seseorang biasanya hanya mengonsumsi satu kali makan yang mengandung sekitar 25% dari kebutuhan kalori harian tubuh.

  1. Whole-Day Fasting (Puasa Sepanjang Hari)

Whole-day fasting adalah jenis intermittent fasting di mana seseorang berpuasa total selama satu atau dua hari dalam seminggu. Di luar hari-hari puasa tersebut, individu dapat mengonsumsi makanan sebebasnya (ad libitum).

  1. Time-Restricted Feeding (Pola Makan Terbatas Waktu)

Pada time-restricted feeding, individu memiliki jendela waktu tertentu dalam sehari untuk mengonsumsi makanan (feeding period), dan sisanya adalah waktu puasa (fasting period). Contohnya, seseorang dapat memberi diri mereka sendiri waktu 8 jam untuk makan, dan sisanya 16 jam merupakan periode puasa.

Perubahan Tubuh Selama Menjalani Intermittent Fasting

Intermittent fasting adalah salah satu metode yang bisa digunakan seseorang untuk menurunkan berat badan, selain itu, juga telah terbukti memiliki efek positif pada profil metabolik. Sebagai contoh, pola puasa bergantian (alternate-day fasting) dapat menghasilkan penurunan berat badan sekitar 3-7% dari berat badan awal, serta mampu menurunkan kolesterol total dan trigliserida pada individu dengan berbagai tingkat kelebihan berat badan, termasuk yang memiliki berat badan normal.

Salah satu faktor yang mungkin bertanggung jawab atas efek ini adalah perubahan dalam metabolisme substrat, yaitu bagaimana tubuh menggunakan lemak dan karbohidrat sebagai sumber energi. Penelitian yang dilakukan oleh Heilbronn et al. (2005) menunjukkan bahwa selama intermittent fasting, terjadi penurunan nilai respiratory quotient pada hari ke-22. Ini mengindikasikan peningkatan penggunaan lemak sebagai sumber energi dibandingkan penggunaan karbohidrat.

Namun, perubahan berat badan setelah menjalani puasa Ramadan mungkin dipengaruhi oleh faktor lain, seperti perubahan total pengeluaran energi. Sebagai contoh, penelitian oleh El Ati et al. (1995) menunjukkan bahwa terdapat variasi dalam pengeluaran energi metabolisme selama satu hari saat puasa Ramadan, tetapi tidak ada perubahan yang signifikan antara sebelum, selama, dan setelah puasa. Temuan serupa juga didukung oleh penelitian McNeil et al. (2014), yang tidak menemukan perubahan yang signifikan dalam total pengeluaran energi setelah puasa.

Peningkatan nafsu makan dan rasa lapar juga dapat berkontribusi pada peningkatan berat badan setelah puasa Ramadan, karena bisa memicu peningkatan asupan makanan. Hasil penelitian oleh Finch et al. (1998) menunjukkan bahwa pada wanita terjadi penurunan rasa lapar setelah periode puasa Ramadan, sementara pada pria, nafsu makan cenderung stabil sebelum, selama, dan setelah puasa Ramadan. Temuan ini juga diperkuat oleh penelitian McNeil et al. (2014), yang menemukan bahwa tidak ada perubahan yang signifikan dalam rasa lapar pada pria dengan berat badan normal maupun obesitas selama periode puasa Ramadan.

Selain itu, telah diteliti bahwa terjadi perubahan hormonal pada individu yang menjalani puasa Ramadan. Sebagai contoh, penelitian di Jordania menunjukkan bahwa pada individu yang berpuasa Ramadan, terjadi penurunan kadar testosteron dan peningkatan kadar follicle stimulating hormone (FSH). Meskipun tidak ada perubahan yang signifikan dalam kadar T3, kadar T4 sedikit meningkat setelah puasa Ramadan (Mansi dan Amneh, 2007). Data ini juga mendukung temuan oleh Bahrayni et al. (2013) yang menunjukkan bahwa pada wanita pre-menarche yang berpuasa Ramadan, terjadi penurunan kadar T4 dan T3 serta peningkatan kadar Thyroid Stimulating Hormone (TSH).

Untuk mendapatkan materi lebih lanjut, bergabunglah dengan Kelas Manajemen Obesitas yang tersedia di Udemy. Gunakan tautan pada gambar berikut.

Oleh Harry Freitag LM, S.Gz, M.Sc, RD, PhD

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *