Obesitas adalah masalah kesehatan yang memiliki dampak serius pada kesejahteraan masyarakat dan secara signifikan meningkatkan risiko berbagai penyakit seperti hipertensi, penyakit kardiovaskular, dan diabetes tipe 2 (Poirier et al, 2006).
Pengelolaan gizi pada individu yang mengalami obesitas atau kelebihan berat badan tidak hanya bertujuan untuk mengurangi berat badan, tetapi juga untuk meningkatkan kesehatan secara keseluruhan dan mengurangi risiko penyakit kardiovaskular (Klein et al, 2004). Oleh karena itu, meskipun metode pengobatan obesitas seperti pembedahan dan penggunaan obat-obatan semakin populer, intervensi gaya hidup tetap menjadi rekomendasi utama dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Bagi individu yang menghadapi kelebihan berat badan atau obesitas, WHO merekomendasikan penurunan berat badan minimal sebesar 10% melalui intervensi gaya hidup, yang mencakup perubahan dalam pola makan, aktivitas fisik, dan perilaku (National Heart, Lung, and Blood Institute (NHLBI) and the North American Association for the Study of Obesity, 2000).
Dalam intervensi gaya hidup ini, diet rendah kalori (Low-Calorie Diet/LCD) dan peningkatan aktivitas fisik merupakan komponen utama yang dapat memberikan hasil penurunan berat badan yang berkelanjutan. Penurunan asupan kalori menjadi bagian kunci dari strategi diet yang diterapkan.
Selain itu, perubahan dalam komposisi diet juga menjadi fokus, seperti peningkatan konsumsi serat dan pengurangan konsumsi karbohidrat sederhana, lemak jenuh, dan lemak trans (Samaha et al, 2003).
Kegemukan dan obesitas telah diidentifikasi sebagai masalah kesehatan yang mendesak, dan berbagai jenis LCD telah dikembangkan sebagai upaya penanganannya. Salah satu bentuk LCD dengan nilai kalori yang sangat rendah dikenal sebagai Very Low-Calorie Diet (VLCD). Meskipun sejumlah besar penelitian telah menunjukkan penurunan berat badan yang signifikan pada individu yang menjalani VLCD, sekitar 35-80% dari mereka mengalami peningkatan berat badan setelah program ini selesai, fenomena yang dikenal sebagai “yoyo effect” atau rebound berat badan (Wing et al, 2005; Weiss et al, 2002; Turk et al, 2009; Kraschnewski et al, 2010).
Fenomena rebound berat badan ini sedang menjadi fokus penelitian aktif di berbagai negara, karena menjadi hambatan utama dalam mencapai kesuksesan jangka panjang dalam penurunan berat badan. Salah satu kelemahan utama VLCD adalah bahwa asupan kalorinya yang sangat rendah (800 kcal/hari) dapat memicu peningkatan nafsu makan dan penurunan basal metabolic rate bahkan setelah program diet selesai (Mariman, 2012).
Sebagian besar makanan dalam VLCD biasanya disajikan dalam bentuk formula (seperti milk shake, bubur, atau puding) yang tersedia secara komersial. Namun, keterbatasan ketersediaan dan biaya yang tinggi membuatnya sulit diakses oleh sebagian besar masyarakat di Indonesia.
Perubahan hormonal memainkan peran penting dalam mengatur efek penurunan tingkat basal energy expenditure serta peningkatan nafsu makan yang sering terjadi setelah seseorang menyelesaikan program Very Low-Calorie Diet (VLCD).
Penurunan berat badan seringkali disertai dengan penurunan jumlah lemak yang tersimpan dalam jaringan adiposa, yang merupakan jaringan yang menghasilkan leptin, hormon yang berperan dalam mengendalikan nafsu makan. Ketika jumlah lemak dalam jaringan adiposa menurun, produksi leptin oleh sel-sel adiposa juga menurun (Mariman, 2012).
Leptin adalah sejenis protein yang dihasilkan oleh jaringan adiposa dengan peran penting dalam mengontrol nafsu makan dan meningkatkan pengeluaran energi. Hormon ini dikodekan oleh gen ob dan berfungsi memberikan sinyal rasa kenyang kepada hipotalamus, yang mengatur nafsu makan dan pengeluaran energi. Kadar leptin yang rendah dalam sirkulasi darah menyebabkan peningkatan sinyal rasa lapar di otak (Rosenbaum et al, 2005).
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa individu yang mengalami kelaparan yang berkelanjutan memiliki kadar leptin yang tinggi, yang mendasari peningkatan nafsu makan pada kondisi tersebut.
Selain berperan dalam mengatur rasa lapar, beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa leptin memiliki pengaruh terhadap produksi hormon tiroid, yaitu triiodothyronine (T3) dan thyroxine (T4), kedua hormon ini memengaruhi tingkat basal metabolic expenditure (Rosenbaum et al, 2002).
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa individu yang mengalami penurunan berat badan akibat diet mengalami penurunan kadar T3 dan T4. Penurunan kedua hormon ini berkontribusi pada penurunan pengeluaran energi. Selain itu, penurunan kadar kedua hormon ini juga disertai dengan penurunan produksi norepinephrine. Kedua perubahan ini bersinergi untuk mendukung penurunan tingkat basal energy expenditure yang lebih lanjut (Sweeney et al, 1993; Sainsbury dan Zhang, 2012).
Aktivitas fisik memegang peran sentral dalam perkembangan obesitas dan telah menjadi komponen kunci dalam program penurunan berat badan. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa aktivitas fisik berperan dalam mendukung penurunan berat badan dengan mengatur metabolisme energi dan lemak (Maisel et al., 1990; de Glisezinski et al., 1998; Donnelly et al., 2009; Jeffery et al., 2003; Rosenbaum et al., 2005).
Selain itu, penelitian terkini pada manusia menunjukkan bahwa peningkatan aktivitas fisik juga memiliki dampak terhadap perubahan nafsu makan melalui pengaruh pada hormon-hormon tertentu (King et al., 2011). Walaupun bukti ilmiah telah memvalidasi peran peningkatan aktivitas fisik dalam penurunan berat badan, masih belum jelas jenis aktivitas fisik, intensitas, dan frekuensi yang paling efektif saat digabungkan dengan pola makan rendah kalori (LCD).
Penelitian yang dilakukan oleh Maisel et al. (1990) menemukan bahwa latihan fisik pada individu sehat dapat meningkatkan kepadatan reseptor β2-adrenergik. Reseptor β2-adrenergik ini bertanggung jawab dalam memicu lipolisis, yang diperkuat oleh peningkatan aktivasi sistem saraf simpatik.
Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh de Glisezinski et al. (1998) menunjukkan bahwa aktivitas fisik aerobik pada individu obesitas dapat meningkatkan lipolisis yang dimediasi oleh beta adrenergik dan mengurangi anti-lipolitik adiposit.
Menariknya, American College of Sports Medicine mengindikasikan bahwa aktivitas fisik sendiri hanya memberikan efek terbatas dalam penurunan berat badan. Hal ini dikarenakan peningkatan penggunaan lemak dan pengurangan penyimpanan lemak sulit dicapai tanpa adanya penurunan asupan energi (Donnelly et al., 2009).
Oleh karena itu, pengintegrasian aktivitas fisik dalam program penurunan berat badan menjadi penting karena kontribusinya terhadap keberhasilan manajemen berat badan dalam jangka panjang.
Penelitian yang dilakukan oleh Jeffery et al. (2003) mengungkapkan bahwa individu yang melakukan aktivitas fisik dengan tingkat tertentu (2500 kcal/minggu) dapat menjaga penurunan berat badan pada bulan ke-12 dan ke-18, dibandingkan dengan individu yang melakukan aktivitas fisik dengan tingkat lebih rendah (1000 kcal/minggu).
Meskipun mekanisme bagaimana aktivitas fisik memberikan kontribusi signifikan dalam pemeliharaan berat badan masih dalam tahap penyelidikan, beberapa teori telah diajukan. Sebelumnya, telah disampaikan bahwa selama program penurunan berat badan, terjadi peningkatan efisiensi penggunaan energi yang mengakibatkan pengurangan pengeluaran energi secara keseluruhan. Pada individu dengan obesitas, penurunan berat badan sebesar 10% dikaitkan dengan penurunan pengeluaran energi sebanyak 300-500 kkal/hari.
Untuk mendapatkan materi lebih lanjut, bergabunglah dengan Kelas Manajemen Obesitas yang tersedia di Udemy. Gunakan tautan pada gambar berikut.
Oleh Harry Freitag LM, S.Gz, M.Sc, RD, PhD